Harta, Tahta, Wanita

Catatan Pendek Penulis | tempat menulis sepanjang yang saya bisa

Judul yang saya buat diatas terinspirasi oleh salah satu pejabat tingkat II yang sedang hangat semua media membicarakannya.

Seorang pejabat yang seharusnya menjadi contoh bagi semua masyarakatnya, malah menjadi sosok yang harus disingkirkan dari masyarakat karena tingkahnya yang membuat geram semua orang.

Sebut saja bunga, gadis yang masih berusia 18 tahun ini harus menjadi janda muda setelah sang suami menceraikannya di usia perkawinan baru 4 hari, dan yang tambah sakit lagi suaminya menceraikanya tidak secara langsung muka bertemu muka, tetapi melalui SMS. Sungguh seorang jantan yang pantas memakai rok mini.

Alasan perceraian ini disebutkan sang "kucing" karena si bunga ini sudah tidak perawan lagi ketika dinikahi olehnya.

Alhasil karena sang pejabat kucing ini telah melanggar sisi kesopanan dan merendahkan suatu pernikahan, akhirnya masyarakat yang geram ini melakukan demonstasi untuk menurunkan pejabat kucing ini.

Diatas merupakan sebuah cerita yang sedang hangat berlangsung di dunia nyata. Segitiga hal yang membuat seorang laki-laki runtuh, roboh dan jatuh menjadi rendah dan miskin adalah 3 hal, yaitu Harta, Tahta dan Wanita.

Ketika seorang laki-laki telah mempunyai harta dan tahta yang ketiga tidak akan jauh akan mendekati, yaitu wanita. Dan sudah banyak contoh orang yang sukses akan jatuh ketika dia telah mencapai titik yang ketiga yaitu wanita cepat akan lambat dia jatuh dari tingginya harta dan tahta tersebut.

Dikutip dari www.mesjidalakbar.com inilah artikel mengenai Harta, Tahta dan Wanita menurut pandangan Islam.
Dalam pandangan agama, harta tahta dan wanita adalah piranti-piranti ibadah, bukan piranti-piranti kemaksiatan.
Bekerja secara sungguh-sungguh yang lillahita`aala itu berpahala. Dan jika kita ditakdirkan menjadi orang yang sangat kaya raya, maka harta itulah yang kita pakai untuk mencapai tingkatan ketakwaan yang tinggi di hadapanNya. Memburu kebahagiaan di dunia sekaligus di akhirat. Itulah cara pandang orang mukmin. Begitu pula cara pandang terhadap tahta. Tahta bukan dipandang sebagai rizki, tetapi dipandang sebagai amanah. Dengan amanah itulah seseorang bisa mencapai ketakwaan tingkat tinggi, tingkat universal. Dimana kebijakan-kebijakan dalam mengembang amanah itu sungguh bermaslahah bagi umat dan itulah pahala tertinggi yang mengantarkan dia sebagai muslim yang muttaqin di dunia dan di akhirat. Kemudian terhadap lawan jenis, maka wanita dipandang sebagai sebuah kehormatan, sebagai sosok ibu yang harus dihormati, dipandang sebagai istri yang halal, dan dari pandangan-pandangan yang religius inilah kita bersama mereka menuju surga Allah. Mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan bapak dan ibu pasangan suami istri itulah yang kelak santai-santai di surga Allah .(Yasin: 56)

Akan tetapi ketiga-tiganya juga berpotensi, karena termasuk varian dunia yang oleh al-Quran disebut mataa? (hiasan) sekaligus ghurur (tipuan). Dua sifat untuk duniawi satu mataa? memang nikmat betul, tetapi ghuruur (menipu), bersifat sementara saja. Untuk itulah, maka bagaimana orang bisa memanfaatkan duniawi menjadi sebuah instrumen menuju kebahagiaan multi dimensi, fiddunya wal akhirah. Yaitu orang yang memandang kehidupan duniawi adalah kehidupan yang menipu, meskipun kita butuh dan kita menikmati, tetapi kita tidak terjebak.

Kami tertarik pada salah satu tips, bagaimana cara menghindari tipuan-tipuan itu. (an-Nisa? 69).

Pertama, yaitu minan nabiyiin (kelompok para nabi) bagaimana kita bisa masuk kelompok para nabi. Inilah tingkatan tertinggi, tingkatan-tingkatan manusia ilahiyah. Dan kita tidak bisa bicara banyak tentang ini, karena itu sama sekali bukan level kita sebagai manusia biasa dan di atas kita.

Kedua, ash-shiddiqien (yaitu orang yang totalitas membenarkan semua ajaran agama, tanpa reserve, tanpa rewel sedikitpun, tanpa menghujat). Contoh tertinggi adalah Abu Bakar ash-Shiddiiq. Ketika diinformasikan tentang Isra? dan Mi`rajnya Nabi, dia hanya bertanya siapa yang bicara? Di jawab Muhammad. Maka dengan satu jawaban : ?Kalau dia yang menyampaikan, maka 100 % saya percaya?.

Ketiga, Asy-syuhada? itu artinya orang yang mati syahid, orang yang berjuang atau berperang di jalan Allah, melawan musuh yang menjahatinya, dan dia gugur li i`laai kaimatillah itulah syuhada?. Apakah kita memburu itu? Apakah kita menunggu perang untuk menjadi syuhada?? Bisa kita artikan asy-syuhada? adalah oang yang baik, dan mempunyai semangat tinggi dalam membaikkan orang lain, dengan cara yang baik. Seperti seorang syuhada? yang mengihlaskan jiwa raganya untuk membela agama demi memperbaiki agama itu, demi mempertahankan agama itu. Selain dirinya baik dia mempunyai semangat sangat tinggi untuk memperbaiki lingkungannya, dengan cara yang baik. Itulah syuhada?. Sehingga kematiannya benar-benar disaksikan oleh Allah, sebagai kematian yang baik. Allah tidak perlu lagi meninjau kembali apa saja amalnya dan berapa nilai amalnya, karena Allah sudah menyaksikan kematiannya sebagai kematian yang baik.

Keempat, sh-shoolihin. Yaitu orang yang baik diri sendiri, dan belum tentu mempunyai semangat untuk membaikkan orang lain. sholuha yash-luh artinya orang yang patut. Dan ayat ini ditutup dengan kata-kata yang cantik ; wa hasuuna ulaaikarafiiqa (mereka-mereka itulah teman anda yang terbaik).

Tingkatan dalam scoring keimanan, level ash-shoolihin itu adalah tingkatan yang paling rendah. Bukan terbaik, karena d bawah itu sudah tidak ada lagi kebajikan. Mukmin di bawah sholih itu mukmin yang suka maksiat, senang melakukan dosa dan itu tidak disebutkan lagi di ayat tersebaut sebagai hasuna ulaaika rafiiqa. Kita justeru sering menganggap sholih itu tingkatan tertingi. Sehingga kalau kita berdoa untuk anak kita itu sebatas shalih atau shalihah. Sesungguhnya doa untuk anak menjadi anak sholihah itu adalah doa level terendah. Pernahkan kita mendoakan anak-anak kita menjadi anak-anak yang shiddiqien. Tidak pernah. Yang selalu kita dengar di arena walimahan adalah semoga menjadi anak yang shalih atau shalihah. Mungkin ada yang menggerutu : ?Menjadikan anak yang shalih aja susah, apalagi menjadi anak yang shiddiqien?.

Karena itu, maka ikhtiar kita sebagai orang mukmin, memperoleh tingkatan shalih itu adalah sebuah realita, sebuah keniscayaan, tidak bisa ditawar lagi. Ketika kita diberi amanah harta yang banyak oleh Allah, maka kita minimal menjadi pribadi mukmin yang shalih, yang mampu mengelola harta itu untuk kebahgiaan dunia dan akhirat. Ketika kita diberi amanah jabatan, maka kita minimal menjadi pribadi yang sholihin, begitu seterusnya.

Post a Comment

0 Comments